Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & poetih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!
Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.
Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara,
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita
sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar
pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!
(bung Tomo – seorang pahlawan revolusioner pada perang 10 Nopember Surabaya)
Desingan peluru dan lontaran mortir menghiasi langit kota Surabaya yang memerah. Ribuan orang pribumi berteriak dengan semangat yang memuncak. Merdeka... Merdeka... Merdeka. Suasana begitu mencekam dengan darah yang mengalir bagai sungai yang membelah kota. Pertempuran itu telah memakan banyak korban jiwa. Tapi di dalam hati para pribumi pemberani itu, hanya terngiang satu hal, Merdeka atau Mati.
Kita masih bisa mendengar bagaimana bung Tomo meneriakkan pidatonya untuk menyemangati arek-arek Suroboyo yang gagah berani menentang penjajah pada pertempuran 10 Nopember. Dengan semangat nasionalisme yang membara dan sepucuk bambu runcing di tangan, arek-arek suroboyo itu melawan para penjajah yang bersenjata lengkap dan lebih canggih dari mereka tanpa mengenal rasa takut demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah. Apapun akan mereka tebus, apapun akan mereka bayar, apapun akan mereka lakukan, demi kemerdekaan Indonesia.
Namun setelah 63 tahun berlalu, apakah semangat yang bergelora selama pertempuran itu masih ada? Apakah bangsa ini telah mencapai apa yang dicita-citakan para pejuangnya? Mari kita cari jawabannya...
Coba kita intip bidang perpolitikan kita. Sangat ironis ketika Global Corruption Barometer 2007 (Gallup International), misalnya, menyampaikan bahwa partai politik sebagai lembaga terkorup dengan nilai 4,2 (dari kisaran 1 sampai 5). Parpol bisa berpeluang korupsi karena bisa ”menjual” kewenangan politik mereka untuk mendulang keuntungan, di mana kewenangan politik bisa diubah menjadi dana operasional bagi kelangsungan hidup parpol untuk meraih dukungan suara dalam pemilu. Parlemen menduduki peringkat di bawahnya dengan nilai 4, yang salah satunya ditandai dengan berkembangnya isu moral karena terlibat percaloan. Keadaan ini dalam kenyataannya semakin sulit bagi parlemen untuk dapat memenuhi perannya mewakili kepentingan rakyat, karena parlemen lebih rentan terhadap tarikan kepentingan lain (kepentingan eksekutif atau bahkan kepentingan kelompok atau elite partai sendiri). Padahal peran kritis parlemen sangat diperlukan untuk mengawasi pelbagai kebijakan pemerintah. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa parlemen dan partai politik sebagai pilar demokrasi belum berfungsi maksimal. Suatu hal yang patut disayangkan.
Suatu kemunduran juga ditemukan di bidang hukum. Hal yang masih menonjol sampai tahun 2005 adalah maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan pelanggaran HAM. Hal ini seolah menegaskan bahwa semakin terbuka politik di Indonesia, semakin transparan pula KKN dan pelanggaran terhadap HAM. Korupsi tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif, tapi juga lembaga legislatif dan yudikatif. Bahkan korupsi ini makin marak pula di era otonomi daerah, dengan banyaknya kasus korupsi yang terkuak di hampir semua daerah, baik yang di lembaga legislatif daerah maupun eksekutifnya. Sedangkan dalam hal pelanggaran HAM, kasus yang paling menonjol adalah pebunuhan aktivis HAM, Munir, yang sampai sekarang ini masih belum menentu karena pelakunya masih misterius, walaupun akhir-akhir ini telah ditetapkan tersangka untuk kasus munir.
Yang tak kalah ironis juga terjadi pada bidang pendidikan. ritik yang perlu kita lancarkan atas kemorosotan mutu pendidikan Indonesia adalah buruknya pelaksanaan sistem pendidikan. Coba kita renungkan, tahun 2007 silam Indeks Pembangunan Pendidikan (Education Development Index) yang dikeluarkan UNESCO, menempatkan Indonesia turun pada posisi 58 menjadi 62. Nilai yang diperoleh Indonesia turun dari 0,938 menjadi 0,935. Begitu pula bila kita melihat indeks pembangunan manusia (IPM), layak mawas diri, karena Indonesia berada di urutan 107. Pencapaian Human Development Index (HDI) ini sungguh merosot bila dibanding tahun 1997. Tahun itu kita berada pada urutan 99. Bahkan, yang mencemaskan, urutan HDI kita masih tertinggal bila dibanding dengan Vietnam yang berada di peringkat 105. Kualitas pendidikan yang merosot, diperparah dengan sistem pendidikan kita yang tak mempertautkan dengan kepentingan pembangunan. Sistem pendidikan kita gagal mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, sumber daya manusia kita gagal mencipta teknologi, gagal mengolah sumber daya alam secara holistik.
Kemudian kita lihat bagaimana bangsa ini memaknai Sumpah Pemuda. Terasa sekali bahwa peringatan sumpah pemuda yang dilaksanakan baru-baru ini terpaksa dilakukan hanya sebagai ritual yang hambar dan kering (dan karenanya kadang-kadang terasa juga membosankan, bahkan, memuakkan), atau sebagai upacara yang isinya hanya dangkal-dangkal saja, dan tidak mengandung pesan yang dalam bagi bangsa. Seharusnya kita tidak boleh membiarkan Sumpah Pemuda terus-menerus dipisahkan dari ciri-cirinya yang revolusioner sebagai pemersatu perjuangan bangsa. Pemuda adalah cikal bakal proklamasi 45 Bagi siapa saja yang mau bersikap serius dan objektif akan bisa melihat bahwa Sumpah Pemuda merupakan peristiwa besar dan maha penting bagi bangsa kita dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan merebut kemerdekaan nasional. Begitu besarnya arti atau peran yang dikandungnya, sehingga boleh dikatakan bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan dalam tahun 1945 tidak akan diperoleh oleh bangsa kita, seandainya tidak ada Sumpah Pemuda dalam tahun 1928. Sumpah Pemuda 1928 adalah cikal bakal proklamasi kemerdekaan 1945 yang melahirkan NKRI. Sumpah Pemuda adalah sumber konsep besar persatuan bangsa yang dikenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Bidang kebudayaan pun tak lepas dari kata kemunduran. Budaya luar akibat modernisasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi, dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun jujur saja, modernisasi membuat kita lupa diri, membuat kita pamrih, dan memandang materi adalah segala-galanyanya didunia ini. Kita tidak memiliki rasa ikhlas terhadap diri kita dan orang lain. Akibatnya, kita cenderung berjalan searah, yaitu dengan melupakan tradisi dan kearifan lokal kita. Kita selalu mengagungkan masa kini, dan menyepelekan masa lalu. Kita lebih suka mendalami era globalisasi dengan segala dampaknya ketimbang mempelajari dan memahami kondisi lokal kita yang padahal jauh lebih bermanfaat dalam mengenal keberagaman dari bangsa ini sebagai potensi pembangunan di era global ini. Kita lebih suka menjual kekayaan kita daripada memanfaatkannya. tidak ada pemahaman, penghargaan dan pengertian yang menyeluruh terhadap masa lalu dan masa kini, terhdap tradisi dan modern, terhadap lokal dan global. Kita harus bisa teknologi modern, tetapi juga harus mampu bermain gamelan dan membuat rumah tradsional kita. Kita juga harus pintar berbahasa asing agar kita tidak ketinggalan dan dibodohi orang, tapi kita juga harus bisa bahasa daerah dan tradisi lokal kita. Kita maniak R&B, tanggo dance, night-club tapi kita juga bisa, sayang dan peduli terhadap tarian tradisional kita. Kita harus menciptakan kreasi yang mendunia tetapi jangan lupa kebudayaan Indonesia yang begitu kaya.
Pemuda dan seluruh bangsa Indonesia seharusnya introspeksi, karena untuk kuliah S3 Sastra Indonesia saja,kita hanya bisa mengambilnya di Belanda. Mungkin saja nanti, ketika kita akan belajar gamelan, karawitan, angklung, wayang, bahasa daerah, arsitektur rumah tradisonal, dll, kita harus menempuhnya ke Eropa. Karena lebih banyak anak-anak muda dan orang tua di Eropa yang belajar seni Sunda dan Jawa. Bahkan, banyak diantara mereka yang menguasai tarian daerah, bahasa daerah dan konservasi tradisi serta kearifan lokal kita. Tetapi sungguh ironis karena tidak banyak kaum muda Indonesia yang tertarik mempelajarinya. Pemuda lebih suka Play Station, IT dan budaya modern lainnya. Salah satu contoh konkrit adalah berdasarkan laporan Balitbang Depbudpar, dari 700 bahasa daerah yang kita punya, sisanya tinggal 300-an bahasa. Hal ini mungkin saja terjadi karena banyak kaum muda kita yang lebih memilih bahasa Inggris, Belanda, Jepang, dll. Mereka lupakan tradisinya. Pemuda sudah lupa dengan sumpahnya.
Ada baiknya kita ulang lagi pertanyaan yang telah dipertanyakan sebelumnya. Setelah 63 tahun berlalu, apakah semangat yang bergelora selama pertempuran itu masih ada? Apakah bangsa ini telah mencapai apa yang dicita-citakan para pejuangnya? Bagaimana kita memaknai hari pahlawan ini?
MERDEKA !!!
HIDUP MAHASISWA !!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!
Departemen Sosial Politik
BEM ITS
baca kelanjutannya dan kasih comment.. »»